Pendidik maupun peneliti di bidang pendidikan telah mengakui pentingnya otentisitas dalam kegiatan pembelajaran di berbagai jenjang dan konteks pendidikan. Akan tetapi, mengutip Kreber, Klampfleitner, McCune, Bayne, dan Knottenbelt (2007) dari Universitas Edinburgh, penelitian mengenai pembelajaran dan penilaian otentik masih memerlukan banyak perhatian dan pengembangan. Dalam konteks pendidikan vokasi di Inggris, utamanya terkait dengan penilaian siswa, otentisitas masih belum banyak dikaji dan diteliti.
Pembelajaran dan Penilaian Otentik
Umumnya, pembelajaran otentik menekankan pada aktivitas belajar yang berbasis dunia nyata, seperti: penyelesaian masalah menggunakan solusi yang dirumuskan siswa, role play, problem-based activities, dan studi kasus. Reeves, Herrington, dan Oliver (2002) mengkaji 10 elemen utama pembelajaran otentik, yang meliputi:
1. Relevansi dengan dunia nyata. Sedapat mungkin, pembelajaran otentik harus disesuaikan dengan aktivitas yang dilakukan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari dan dalam lingkungan profesional dimana mereka akan menerapkan ilmu yang diperoleh. Melalui pembelajaran otentik, siswa difasilitasi untuk belajar konsep, fakta, serta konteks keilmuan dan sosial dari bidang yang mereka pelajari.
2. Pendekatan multi-interpretasi. Siswa dilatih untuk menyelesaikan permasalahan yang tidak dapat dipecahkan dengan rumus tertentu, melainkan melalui interpretasi personal mereka. Melalui cara ini, siswa akan belajar mengidentifikasi cara-cara yang dapat mereka aplikasikan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan guru.
3. Investigasi yang berkelanjutan. Dalam pembelajaran otentik, tugas yang diberikan kepada siswa cenderung kompleks sehingga alokasi waktu dan bahan pembelajaran yang dibutuhkan siswa harus diper-siapkan dengan baik.
4. Bahan pembelajaran dan cara pandang yang variatif. Dalam mempelajari dan menganalisa berbagai sumber belajar yang mereka guna-kan, siswa akan belajar memilah informasi yang relevan dan irelevan dengan tugas yang mereka kerjalan. Karena guru tidak menetapkan satu referensi khusus dan siswa berhak memilih beberapa referensi sesuai dengan definisi kebutuhan mereka, siswa akan belajar mengenai berbagai cara pandang terhadap suatu teori atau cara penyelesaian masalah.
5. Kolaborasi. Kerja sama antar siswa merupakan elemen penting dalam pembelajaran otentik.
6. Refleksi pembelajaran. Siswa diharapkan untuk dapat melakukan refleksi terhadap pembelajaran secara pribadi maupun berkelompok.
7. Cara pandang multidisipliner. Tidak hanya mengacu pada satu bidang ilmu, pembelajaran otentik dapat dikaitkan dengan bidang ilmu lain. Untuk itu, siswa perlu dibimbing untuk berpikir secara multidisipliner.
8. Penilaian yang terintegrasi.
9. Pembelajaran berorientasi produk. Dalam pembelajaran otentik, siswa tidak hanya diharapkan untuk dapat menyimpulkan materi yang telah mereka pelajari tetapi juga menghasilkan produk yang relevan dengan materi tersebut.
10. Pembelajaran menghasilkan multiinterpretasi dan multi capaian. Dalam mengkaji suatu masalah atau menyelesaikan suatu kegiatan, siswa dibimbing untuk memberikan respon yang objektif melalui jawaban yang bersifat terbuka.
Dalam menerapkan pembelajaran otentik, guru tidak menekankan penggunaan buku teks melainkan dokumen, data saintifik dan sumber belajar non-textbook lainnya. Ceramah dan penjelasan yang didominasi oleh teacher-talk akan diminimalisir dan diganti dengan pembelajaran berbasis aktivitas berdasarkan permasalahan. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antar siswa melalui kolaborasi dan antar siswa dengan guru memegang peranan penting pada pembelajaran otentik. Dengan sistem pembelajaran yang demikian, penilaian hendaknya tidak menekanakan pada jawaban salah benar yang hanya menjangkau pemahaman dasar.
Dalam menerapkan penilaian otentik, capaian belajar siswa sebaiknya tidak hanya ditinjau dari satu aspek penilaian saja melainkan dari berbagai aspek yang dapat mengukur capaian belajar siswa secara holistik, ter-masuk partisipasi siswa dan produk yang siswa hasilkan selama proses pembelajaran berlangsung. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh Faraday, Overton, dan Cooper (2011), terdapat dua jenis penilaian yang keduanya diterapkan di sistem pendidikan vokasi, yakni penilaian terhadap hasil pembelajaran dan penilaian untuk proses pembelajaran. Penilaian terhadap hasil pembelajaran merupakan jenis penilaian yang umum dilakukan di berbagai tipe dan jenjang pendidikan. Instrumen yang seringkali digunakan adalah tes tertulis, tes berbasis komputer, peragaan, dan penggunaan permainan di kelas. Penilaian tidak hanya dapat dilakukan oleh guru karena siswa dapat diajak untuk merefleksikan hasil pem-belajaran mereka sendiri maupun memberikan penilaian kepada siswa yang lain. Penilaian yang kedua ialah penilaian untuk pembelajaran yang ditujukan untuk mengevaluasi hasil belajar siswa dan meninjau efektivitas metode yang digunakan dalam pembelajaran. Melalui penilaian ini, guru diharapkan dapat mengevaluasi apakah kebutuhan belajar siswa telah cukup terpenuhi.
Efektivitas pembelajaran otentik
Prinsip pembelajaran otentik sejalan dengan riset mengenai peran otak manusia dalam merubah informasi yang diterima siswa menjadi ilmu yang bermakna dan dapat dialihkan (transferable). Dalam pembelajaran otentik, diharapkan, siswa tidak hanya mendapatkan materi berupa teori tapi juga kesempatan untuk mempraktikkan teori yang telah mereka pelajari. Lombardi (2007) merangkum tiga hal pokok yang menjelaskan keunggulan pembelajaran otentik sebagai berikut:
1. Siswa dilatih untuk menemukan keterkaitan antara materi yang sedang mereka pelajari dengan materi sebelumnya dan dengan pengalaman yang mereka alami. Ketika siswa mempelajari ilmu yang baru, secara natural, mereka akan berusaha mengkoneksikan topik tersebut dengan pengalaman belajar mereka maupun pengalaman yang mereka alami di kehidupan sehari-hari. Jika topik tersebut belum terintegrasi dengan skemata atau struktur pemahaman yang mereka miliki, ilmu tersebut cenderung terabaikan dan sulit berkembang. Untuk mengatasi hal ini, semangat belajar siswa dalam memahami suatu materi pembelajaran perlu ditanamkan sehingga mereka mampu memahami ilmu yang mereka pelajari di level personal. Dengan mempersonalisasikan suatu informasi, siswa akan lebih mudah memahami materi yang tadinya dianggap kurang famliar.
2. Ilmu akan lebih mudah diingat jika dipraktikkan. Konsep yang dipel-ajari siswa perlu diulas berulang kali secara teratur. Siswa juga perlu dilatih untuk dapat mempertahankan suatu teori, mengaplikasikan-nya di konteks yang berbeda, dan mengasosiasikannya dengan kegiatan dan orang lain(Bahr & Rohner 2004).
3. Konteks lain dimana ilmu yang siswa pelajari dapat diterapkan perlu dieksplorasi. Teori atau konsep yang siswa pelajari, pada dasarnya, merupakan bagian dari pembelajaran mengenai teori dan konsep yang lain. Karenanya, konteks sosial dimana suatu ilmu berkembang perlu lebih lanjut dieksplorasi. Siswa perlu mempelajari lingkungan, kegiatan, dan pihak-pihak (people) yang terkait dengan suatu teori. Konsep pembelajaran otentik dalam pendidikan vokasi di Inggris.
Dalam berbagai kajian dan studi mengenai pendidikan dan pelatihan vokasi, konsep pembelajaranotentik seringkali dikaitkan dengan istilah ‘kompetensi’. Menurut Mulder, Weigel, dan Collins (2007: 82), ‘kompetensi’ dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempraktikkan dan menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang terkait dengan peran profesional seorang individu.
Istilah kompetensi berkaitan erat dengan konsep ‘belajar mandiri’, ‘pembelajaran otentik’, dan ‘konstruksi ilmu pengetahuan’. Kompetensi dapat direalisasikan melalui tujuan pembelajaranyang bermakna bagi siswa. Berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan, konten pembelajaran disusun agar dapat mengarahkan siswa untuk mengembangkan kualitas diri mereka dan mempersiapkan peran mereka nantinya di lingkungan masyarakat (Mulder, Weigel & Collins, 2007). Cuddy & Leney (2005), merangkum dari beberapa sumber, menjelaskan beberapa landasan pendidikan vokasi di Inggris yang dua diantaranya berkaitan erat dengan pembelajaran dan penilaian otentik, yakni:
Keberagaman penyediaan pembelajaran yang menuntut adanya penyesuaian antara kebutuhan belajar dan penyampaian materi belajar dengan lingkungan ekonomi dan sosial siswa.
Penyusunan standar lapangan kerja dengan menggunakan analisa kebutuhan yang sistematis dan dengan melibatkan pihak terkait secara aktif.
Penting untuk diingat bahwa kompetensi yang dimiliki siswa harus disesuaikan dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh penyedia lapangan kerja. Karenanya, salah satu aspek penting yang harus dimiliki oleh pendidikan vokasi adalah pembaharuan isi dan pendekatan pembelajaran berdasarkan kebutuhan penyedia lapangan kerja saat ini dan di masa yang akan datang (Lucas, Spencer, Claxton, 2012).
Arahan pendidikan vokasi di Inggris tidak hanya ditentukan oleh pemerintah. Beberapa institusi seperti The UK Commission for Employment and Skills (UKCES), organisasi non-pemerintah yang menyediakan kepemimpinan strategis untuk keterampilan dan isu lapangan kerja, dan beragam Sector Skills Councils (SSCs) pun turut berperan serta dalam penyusunan kebijakan yang terkait dengan pendidikan vokasi (Lucas, Spencer, Claxton, 2012). Hal ini dilakukan untuk menjaga relevansi pen-didikan vokasi dengan kebutuhan lapangan kerja sehingga siswa mampu mencapai kompetensi yang dapat menjadi tuntutan di dunia kerja. Tentunya akan kurang efisien jika pemerintah dituntut untuk mendengarkan dan mengkaji pendapat seluruh pelaku usaha demi mendapatkan gambaran mengenai kebutuhan penyedia lapangan kerja. Laporan dari kelompok usaha seperti the ConstructionIndustry Trade Survey of 2011, contohnya, dapat dijadikan acuan bagi pemerintah untuk menganalisa kebutuhan lapangan kerja dan menentukan kompetensi yang perlu dipelajari siswa (Lucas, Spencer, Claxton, 2012).
Tidak hanya di level kebijakan, pembelajaran otentik di Inggris juga diterapkan oleh guru dalam pembelajaran di kelas. Mengutip Andy Smyth (lihat Lucas, Spencer, Claxton, 2012: 59), ‘Poin penting pendidikan vokasi terletak pada pembelajaran berbasis real-time, real-world, dan dengan panduan guru atau pelatih untuk memberikan masukan, refleksi, dan menuntun siswa melalui proses pembelajaran yang terstruktur’. Lucas, Spencer, Claxton (2012: 61) menjelaskan secara lebih rinci prinsip pen-didikan otentik yang mencakup: belajar dengan melihat; belajar dengan meniru; belajar melalui praktik (‘trial and error’); belajar melalui masukan (feedback); belajar melalui percakapan; belajar melalui mengajar dan membantu siswa lain belajar; belajar melalui problem-based activity; belajar melalui proses bertanya (inquiry); belajar melalui berpikir kritis dan menghasilkan pengetahuan; belajar melalui proses mendengarkan, mentraskripsi, dan mengingat; belajar melalui membuat sketsa; belajar melalui proses refleksi; belajar dengan cara meminta bantuan atau pen-jelasan pada orang lain untuk menjawab rasa ingin tahu yang mereka miliki (learning on the fly); belajar melalui pembinaan; belajar dengan cara berkompetisi; belajar dari lingkungan virtual; belajar melalui simulasi dan permainan peran; belajar melalui permainan.
Penerapan pembelajaran otentik pada pendidikan vokasi di Inggris Riset menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara pendidikan vokasi dan pendidikan non-vokasi, kecuali dalam hal konteks pembelajaran (Faraday, Overton, Cooper, 2011). Konteks pembelajaran yang dimaksud dalam hal ini bukan hanya ditinjau dari relevansi materi pembelajaran dengan praktik di lingkungan sosial dan profesional, tapi juga mencakup tujuan pembelajaran dan hasil pembelajaran yang di-harapkan, metode yang perlu diterapkan untuk mencapai tujuan ter-sebut, level pembelajaran (terkait dengan kuaifikasi yang dibutuhkan untuk dapat memahami suatu materi pembelajaran), serta proporsi antara jumlah siswa dan ketersediaan fasilitas serta sumber belajar. Melalui pembelajaran yang kontekstual, siswa diharapkan untuk dapat menerima materi pembelajaran yang menekankan pada aktivitas dan praktik. Dua hal mendasar yang penting untuk diingat dari konsep pembelajaran ini adalah: satu, materi pembelajaran hendaknya dipresentasikan melalui konteks dimana materi tersebut nantinya diaplikasikan oleh siswa; dua, karena siswa akan belajar melalui aktivitas dan praktik, interaksi dan kolaborasi dengan siswa yang lain perlu ditekankan.
Untuk memahami bagaimana konsep diatas dapat diaplikasikan dalam kegiatan belajar dan pembelajaran pada pendidikan vokasi di Inggris, berikut adalah gambaran kegiatan pembelajaran siswa jurusan pariwisata. Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran ini adalah: siswa mampu mempraktikkan prosedur evakuasi dan ke-amanan (the safety evacuation) di pesawat udara. Berdasarkan tujuan pembelajaran ini, materi pembelajaran lebih diarahkan pada penguasaan keterampilan, bukan hanya teori. Siswa akan melakukan beberapa simulasi untuk dapat memahami dengan jelas situasi sebenarnya yang akan mereka hadapi, termasuk membuat keputusan yang realistis ber-dasarkan kondisi yang ada di lapangan.
Beberapa instrumen dan langkah pembelajaran otentik yang nampak pada contoh diatas adalah:
1. Penggunaan rekaman suara untuk menggambarkan situasi darurat di pesawat. Praktik ini telah sesuai dengan salah satu ciri pembelajaran otentik yang menggunakan media pembelajaran yang variatif (Reeves, Herrington & Oliver, 2002). Kesan yang siswa tangkap saat mendengarkan rekaman percakapan pilot dengan pemandu lalu lintas udara, lengkap dengan efek suara pendukung, tentunya akan berbeda dibandngkan dengan kesan yang mereka tangkap saat mendapatkan gambaran situasi yang sama hanya melalui deskripsi lisan guru. Terlebih, dengan mata tertutup, siswa mendapatkan pengalaman belajar yang berbeda dan unik.
2. Guru tidak serta merta memberikan alasan mengapa siswa diharuskan menutup mata saat mendengarkan rekaman suara dan memasang perlengkapan keselamatan. Guru meminta siswa memikirkan alasan dibalik kegiatan ini melalui diskusi dengan siswa lain. Guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam diskusi sehingga siswa dapat berpendapat dengan lebih aktif. Dengan memecahkan masalah yang diberikan guru melalui tanya jawab dan diskusi seperti contoh diatas, siswa akan terlatih untuk berpikir kritis. Penting bagi guru pendidikan vokasi untuk dapat mengajarkan dan membiasakan sikap berpikir kritis dan mendalam karena dunia kerja modern mengaruskan pe-kerjanya untuk dapat berpikir kreatif (Spencer, Lucas & Claxton, 2012).
3. Pada tahap akhir pembelajaran, guru memfasilitasi diskusi antar siswa dan menampung ide-ide yang mereka miliki tentang pengembangan demonstrasi keselamatan bagi penumpang pesawat udara. Tidak hanya sesuai dengan tema pembelajaran, diskusi ini juga bertujuan untuk menjawab tantangan yang ada di industri penerbangan. Seperti yang kita ketahui, demonstrasi keselamatan bagi penumpang pesawat udara seringkali dianggap membosankan sehingga diabaikan. Proses pembelajaran yang mendorong siswa untuk berpikir kreatif, secara tidak langsung, akan mengarahkan siswa untuk meng-gunakan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hal ini sesuai dengan salah satu elemen utama pendidikan vokasi yang diharapkan mampu membimbing siswa berpikir luas dan menyelesaikan masalah secara objektif melalui pertanyaan terbuka (Reeves, Herrington & Oliver, 2002). Untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa, guru juga menugaskan siswa untuk menganalisa alasan dibalik pentingnya demonstrasi keselamatan penumpang pesawat udara. Melalui proses pembelajaran yang terstruktur dan kompleks seperti contoh, siswa akan terlatih untuk berpikir secara mendalam dan bertahap.
Kesimpulan dan Pembelajaran
Hingga saat ini, kajian praktis dan empiris mengenai pembelajaran otentik, utamanya dalam pendidikan vokasi, masih memerlukan banyak perhatian. Akan tetapi, di Inggris sendiri, pembelajaran otentik bukan merupakan konsep yang baru dan asing. Terbukti, pemerintah Inggris telah menjadikan laporan dari perwakilan pelaku usaha sebagai landasan untuk menganalisa kebutuhan lapangan kerja dan menentukan kompe-tensi yang perlu dipelajari siswa sekolah vokasi. Hal ini dilakukan demi menjaga relevansi pendidikan vokasi dengan kebutuhan lapangan kerja sehingga siswa mampu mencapai kompetensi yang menjadi tuntutan di dunia kerja. Di samping itu, elemen utama pendidikan vokasi juga telah diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar seperti contoh kegiatan pem-belajaran siswa jurusan pariwisata yang telah disajikan sebelumnya. Beberapa rekomendasi telah disajikan untuk mengembangkan pendidikan vokasi di Indonesia. Salah satu poin penting pengembangan yang layak dipertimbangkan adalah pembaharuan pendekatan mengajar oleh guru guna membentuk sikap berpikir siswa yang kritis dan mendalam.
Ofsted (The Office for Standards in Education, Children’s Services and Skills), badan pemerintah Inggris yang memiliki kewenangan mengatur dan memberikan layanan pendidikan, dalam laporan tahunannya di tahun 2011, menyampaikan beberapa faktor yang menyebabkan kurang efektifnya suatu kegiatan pembelajaran, diantaranya:
1. Guru menghabiskan terlalu banyak waktu untuk ceramah.
2. Konten pembelajaran kurang imajinatif
3. Sikap bertanya kurang terbentuk di kelas sehingga siswa tidak terbiasa untuk berpikir secara mendalam dan kritis
4. Poses pembelajaran kurang menarik sehingga siswa tidak termotivasi untuk belajar.
Keempat faktor di atas berkaitan erat dengan pembelajaran otentik karena partisipasi siswa, keterkaitan dengan dunia nyata, serta sikap berpikir kritis memegang peranan penting dalam mewujudkan otentisitas dalam kegiatan pembelajaran. Banyak asumsi yang berkembang bahwa pembelajaran hanya dinilai otentik jika siswa belajar menggunakan alat peraga atau melakukan praktek secara langsung melalui kunjungan lapangan. Akan tetapi, mengambil konteks pendidikan vokasi di Inggris sebagai contoh, pembelajaran yang direncanakan secara terstruktur tanpa melupakan pentingnya mengembangkan sikap berpikir kritis siswa juga harus menjadi prioritas utama pembelajaran. Di samping itu, penggunaan media pembelajaran yang menunjang proses pembelajaran dan mening-katkan minat belajar siswa juga perlu diperhatikan. Nyatanya, masih banyak guru di Indonesia yang menjadikan ceramah sebagai pendekatan utama dalam menyampaikan materi pembelajaran. Siswa kurang men-dapatkan bimbingan untuk berdiskusi dan memecahkan masalah melalui tukar pendapat. Sementara itu, di level kebijakan, kerja sama dengan lembaga non-pemerintah untuk menjaga relevansi pendidikan vokasi dengan kebutuhan lapangan kerja mutlak diperlukan. Beberapa poin ini hendaknya dapat menjadi pertimbangan untuk mengembangkan pendidikan vokasi di Indonesia.